Picik dan Emosionalnya Oknum Mahasiswa ITB itu
Siang ini (24 Oktober 2007) sepulang kuliah Matematika Diskrit, gua lagi jalan berdua ke arah parkir barat dari Lab Radar bareng temen gua, Ari. Hujan tiba-tiba menitik dengan cukup deras sehingga gua dan Ari secara spontan memilih untuk berjalan di koridor gedung Fisika di sisi kiri yang beratap untuk menghindari hujan. Kami lalu berjalan sambil mengobrol di sepanjang koridor tersebut.
Baru beberapa meter berjalan di koridor tersebut, kami melihat seorang mahasiswa dan mahasiswi sedang duduk lesehan di sisi koridor yang bentuknya melebar karena lebih menjorok ke dalam dibandingkan sisi koridor yang lain. Secara sekilas terlihat wajah si cewek sembab dan matanya merah sehingga gua simpulkan bahwa ia sedang menangis. Si cowok berada di sampingnya. Gua sama sekali ga ambil peduli tentang mereka, begitu pun Ari – kami sama sekali tidak mau ambil pusing.
Kami terus saja berjalan. Lalu, terlihat sebuah ponsel tergeletak di tengah-tengah koridor di hadapan kami. Secara spontan gua ngomong ke Ari,” Eh, ini HP siapa nih?”. Gua ngerasa heran, kok ada HP tergeletak di tengah jalan gini. Gua tahu sepertinya HP itu milik salah seorang dari pasangan yang sedang gundah di sisi kiri gua. Akhirnya kami melangkahi HP tersebut.
Saat itu juga, terdengar bentakan keras dari sisi kiri kami, ”Woi!!! Itu HP gua!!! Mau apa loe?!!!”. Ternyata bentakan itu diteriakkan oleh si cowok. Cowok itu lalu menatap gua dengan tajam melalui celah sepanjang satu meter antara dinding gedung dengan tiang penyangga gedung. Jarak kami sekitar tiga meter.
Gua sontak berhenti berjalan dan menengok ke arah dia. Lalu, gua–yang gak terima dibentak-bentak kayak gitu tanpa sebab–bales teriak, ”Gua cuman nanya aja!! Mau apa loe?!”. Gua dan cowok itu saling memelototi dari tempat masing-masing. Tapi, Ari segera menarik gua untuk segera pergi saja. Emosi gua (sayangnya) gak terpancing karena sampai beberapa detik yang lalu gua masih dalam kondisi good mood sehingga gua mau saja diajak pergi oleh Ari. Kami melangkah dari sana. Gua dan cowok temperamental itu kehilangan kontak mata karena terhalang oleh tembok.
Tapi, tiba-tiba cowok temperamental itu berteriak (lagi), ”Woi!!! Mau ke mana loe?! Gua anak S*P*L!!! Ini wilayah gua! Loe jangan macem-macem di sini!!!”. Gua berhenti berjalan dan menatap dia yang sedang berjalan ke arah gua. Gua diam sambil menatap dia, karena emosi gua entah kenapa tetap stabil–nggak terpancing kemarahan tidak berdasar cowok temperamen tersebut. Cowok tersebut terus mendekati gua sambil mengambil ancang-ancang untuk memukul. Dia ngomong, ”Loe mau gua tanganin ya?!”. Tapi, Ari segera memisahkan kami. Gua pun ditarik pergi oleh Ari. Namun gua sempat berkata, ”Kita ini orang intelektual mas. Jangan dikit-dikit main fisik donk!”.
Gua gak mau meladeni dia. Walaupun gua pemegang sabuk biru karate dan fisik gua selama ini lumayan karena aktif di organisasi pecinta alam kampus, gua gak mau bermain fisik. Gua sadar, berkelahi di kampus adalah pelanggaran berat dengan sangsi Drop-Out alias DO. Selain itu, main fisik juga sama sekali gak mencerminkan jiwa intelektualitas yang seharusnya dimiliki para mahasiswa, ITB lagi – yang katanya putra-putri terbaik bangsa. Jadi sebagai mahasiswa Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB, yang merupakan fakultas terpandang di ITB, gua sadar berkelahi di kampus adalah tindakan yang paling bego yang dapat dilakukan mahasiswa. Apalagi kalau berkelahi TANPA ALASAN YANG JELAS. Walaupun ditantang untuk berkelahi, jangan pernah kepancing. Baru kalo kepaksa, silakan ladeni untuk menjaga harga diri. Walaupun tetap saja bermain fisik adalah tindakan picik yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang berpandangan sempit.
Sayang, cowok picik di hadapan gua gak ngerti hal itu. Lagipula, dia hanya berani menantang dari ’wilayahnya sendiri’. Belum tentu dia berani kalau bukan di ’wilayah dia’. Kata-katanya yang: ”Gua anak S*P*L!!! Ini wilayah gua! Loe jangan macem-macem di sini!!” adalah kata-kata orang picik. Emangnya gedung jurusan dia dan daerah2 sekitarnya milik anak2 s*p*l doang? ITB itu kan kampus terbuka, bahkan orang luar pun bebas berkeliaran di seluruh wilayah ITB yang diperuntukkan buat umum.
Gua pernah mengalami hal yang sama sebelumnya. Waktu sma, gua pernah dapet masalah karena senggolan motor dengan salah seseorang yang ngga gua kenal. Dia melontarkan ucapan yang bermakna sama (dengan bahasa Sunda), ”Ieu wilayah aing. Babaturan urang loba di dieu. Sia tong macem-macem di dieu.” Ini adalah kata-kata yang hanya dilontarkan orang-orang picik. Tapi waktu itu gua maklum, karena gua tahu dia bukan orang terpelajar, paling-paling dia lulusan sma yang gak bermutu. Tapi kali ini dilontarkan mahasiswa ITB, men! Tanpa alasan yang jelas lagi!
Btw, gua pengen tau apa sih yang nyinggung perasaannya? Gua cuma ngomong spontan tentang HP yang tergeletak di tengah jalan. Gua kasian aja ama pemilik HP itu klo2 terinjak orang dan hancur. No others!
Mungkin ada yang gak beres tentang hubungan si cowok tersebut dengan cewek yang menangis di sebelahnya tadi. Barangkali cowok itu diputusin si cewek, ato si cewek hamil di luar nikah dan minta pertanggungjawaban si cowok – gua gak mau tahu. Tapi seberat apa pun masalah loe, jangan membuat masalah lain yang malah bisa menambah rumit kehidupan loe. Apalagi masalah yang sama sekali tidak beralasan dan dibuat-buat. Dia harusnya terima kasih ke gua. Klo gua tadi melayani dia, kita berdua bisa babak belur dan sama-sama DO dari kampus. Kita berdua bahkan bisa ditahan di sel kepolisian. Apa dia gak sadar akan hal tersebut?
Dewasa lah dikit... Kendaliin emosi loe. Tapi gua maklum kok. Emang banyak orang yang dewasa secara fisik, namun belum dewasa secara mental.
Banyak orang yang tidak cukup cerdas untuk mengendalikan emosinya.
Tambahan juga, banyak anak ITB yang terperangkap dalam aroganisme jurusan, yang sebenarnya gak penting. Kayaknya calon tukang kuli bangunan dan calon koruptor proyek pembangunan itu (masih calon, karena belum tentu dia lulus) juga terperangkap dalam arogansi jurusan tersebut. Udah lah lupakan saja hal gak penting itu, gimana Indonesia mau maju kalau dalam tingkat kampus saja mahasiswanya gak merasa ’satu’.
Syukurlah emosi gua ngga terpancing. Setelah insiden itu pun, gua gak merasa terjadi apa-apa. Enjoy aja! Tapi sebenernya gua pengen tahu masalah apa gerangan yang sedang terjadi dengan sepasang anak manusia tadi. Barangkali gua bisa bantu buat memecahkan masalah mereka. Sebenernya akan lebih baik jika loe ajak gua dan Ari untuk sharing masalah loe ke kita, daripada loe malah menambah rumit hidup loe dengan marah-marah dan menantang berkelahi.
Pesan gue buat tuh anak: kendaliin emosi yang meledak-ledak. Serumit apa pun masalah yang sedang membelit, dinginkan pikiran. Jangan melampiaskan emosi loe ke orang lain yang tidak bersalah. Dewasalah. Gunakan akal, logika, dan pikiran loe untuk berpikir tentang akibat dan efek lanjut dari setiap tindakan kita. Kita sama2 cowok, yang didesain untuk lebih menggunakan logika dan pikiran daripada emosi dan perasaan.
Oke, sekian aja sharing pengalaman dari gua. Moga-moga ada yang bisa diambil hikmahnya dari insiden ini. Ada yang mau komentar? Silakan!
Baru beberapa meter berjalan di koridor tersebut, kami melihat seorang mahasiswa dan mahasiswi sedang duduk lesehan di sisi koridor yang bentuknya melebar karena lebih menjorok ke dalam dibandingkan sisi koridor yang lain. Secara sekilas terlihat wajah si cewek sembab dan matanya merah sehingga gua simpulkan bahwa ia sedang menangis. Si cowok berada di sampingnya. Gua sama sekali ga ambil peduli tentang mereka, begitu pun Ari – kami sama sekali tidak mau ambil pusing.
Kami terus saja berjalan. Lalu, terlihat sebuah ponsel tergeletak di tengah-tengah koridor di hadapan kami. Secara spontan gua ngomong ke Ari,” Eh, ini HP siapa nih?”. Gua ngerasa heran, kok ada HP tergeletak di tengah jalan gini. Gua tahu sepertinya HP itu milik salah seorang dari pasangan yang sedang gundah di sisi kiri gua. Akhirnya kami melangkahi HP tersebut.
Saat itu juga, terdengar bentakan keras dari sisi kiri kami, ”Woi!!! Itu HP gua!!! Mau apa loe?!!!”. Ternyata bentakan itu diteriakkan oleh si cowok. Cowok itu lalu menatap gua dengan tajam melalui celah sepanjang satu meter antara dinding gedung dengan tiang penyangga gedung. Jarak kami sekitar tiga meter.
Gua sontak berhenti berjalan dan menengok ke arah dia. Lalu, gua–yang gak terima dibentak-bentak kayak gitu tanpa sebab–bales teriak, ”Gua cuman nanya aja!! Mau apa loe?!”. Gua dan cowok itu saling memelototi dari tempat masing-masing. Tapi, Ari segera menarik gua untuk segera pergi saja. Emosi gua (sayangnya) gak terpancing karena sampai beberapa detik yang lalu gua masih dalam kondisi good mood sehingga gua mau saja diajak pergi oleh Ari. Kami melangkah dari sana. Gua dan cowok temperamental itu kehilangan kontak mata karena terhalang oleh tembok.
Tapi, tiba-tiba cowok temperamental itu berteriak (lagi), ”Woi!!! Mau ke mana loe?! Gua anak S*P*L!!! Ini wilayah gua! Loe jangan macem-macem di sini!!!”. Gua berhenti berjalan dan menatap dia yang sedang berjalan ke arah gua. Gua diam sambil menatap dia, karena emosi gua entah kenapa tetap stabil–nggak terpancing kemarahan tidak berdasar cowok temperamen tersebut. Cowok tersebut terus mendekati gua sambil mengambil ancang-ancang untuk memukul. Dia ngomong, ”Loe mau gua tanganin ya?!”. Tapi, Ari segera memisahkan kami. Gua pun ditarik pergi oleh Ari. Namun gua sempat berkata, ”Kita ini orang intelektual mas. Jangan dikit-dikit main fisik donk!”.
Gua gak mau meladeni dia. Walaupun gua pemegang sabuk biru karate dan fisik gua selama ini lumayan karena aktif di organisasi pecinta alam kampus, gua gak mau bermain fisik. Gua sadar, berkelahi di kampus adalah pelanggaran berat dengan sangsi Drop-Out alias DO. Selain itu, main fisik juga sama sekali gak mencerminkan jiwa intelektualitas yang seharusnya dimiliki para mahasiswa, ITB lagi – yang katanya putra-putri terbaik bangsa. Jadi sebagai mahasiswa Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB, yang merupakan fakultas terpandang di ITB, gua sadar berkelahi di kampus adalah tindakan yang paling bego yang dapat dilakukan mahasiswa. Apalagi kalau berkelahi TANPA ALASAN YANG JELAS. Walaupun ditantang untuk berkelahi, jangan pernah kepancing. Baru kalo kepaksa, silakan ladeni untuk menjaga harga diri. Walaupun tetap saja bermain fisik adalah tindakan picik yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang berpandangan sempit.
Sayang, cowok picik di hadapan gua gak ngerti hal itu. Lagipula, dia hanya berani menantang dari ’wilayahnya sendiri’. Belum tentu dia berani kalau bukan di ’wilayah dia’. Kata-katanya yang: ”Gua anak S*P*L!!! Ini wilayah gua! Loe jangan macem-macem di sini!!” adalah kata-kata orang picik. Emangnya gedung jurusan dia dan daerah2 sekitarnya milik anak2 s*p*l doang? ITB itu kan kampus terbuka, bahkan orang luar pun bebas berkeliaran di seluruh wilayah ITB yang diperuntukkan buat umum.
Gua pernah mengalami hal yang sama sebelumnya. Waktu sma, gua pernah dapet masalah karena senggolan motor dengan salah seseorang yang ngga gua kenal. Dia melontarkan ucapan yang bermakna sama (dengan bahasa Sunda), ”Ieu wilayah aing. Babaturan urang loba di dieu. Sia tong macem-macem di dieu.” Ini adalah kata-kata yang hanya dilontarkan orang-orang picik. Tapi waktu itu gua maklum, karena gua tahu dia bukan orang terpelajar, paling-paling dia lulusan sma yang gak bermutu. Tapi kali ini dilontarkan mahasiswa ITB, men! Tanpa alasan yang jelas lagi!
Btw, gua pengen tau apa sih yang nyinggung perasaannya? Gua cuma ngomong spontan tentang HP yang tergeletak di tengah jalan. Gua kasian aja ama pemilik HP itu klo2 terinjak orang dan hancur. No others!
Mungkin ada yang gak beres tentang hubungan si cowok tersebut dengan cewek yang menangis di sebelahnya tadi. Barangkali cowok itu diputusin si cewek, ato si cewek hamil di luar nikah dan minta pertanggungjawaban si cowok – gua gak mau tahu. Tapi seberat apa pun masalah loe, jangan membuat masalah lain yang malah bisa menambah rumit kehidupan loe. Apalagi masalah yang sama sekali tidak beralasan dan dibuat-buat. Dia harusnya terima kasih ke gua. Klo gua tadi melayani dia, kita berdua bisa babak belur dan sama-sama DO dari kampus. Kita berdua bahkan bisa ditahan di sel kepolisian. Apa dia gak sadar akan hal tersebut?
Dewasa lah dikit... Kendaliin emosi loe. Tapi gua maklum kok. Emang banyak orang yang dewasa secara fisik, namun belum dewasa secara mental.
Banyak orang yang tidak cukup cerdas untuk mengendalikan emosinya.
Tambahan juga, banyak anak ITB yang terperangkap dalam aroganisme jurusan, yang sebenarnya gak penting. Kayaknya calon tukang kuli bangunan dan calon koruptor proyek pembangunan itu (masih calon, karena belum tentu dia lulus) juga terperangkap dalam arogansi jurusan tersebut. Udah lah lupakan saja hal gak penting itu, gimana Indonesia mau maju kalau dalam tingkat kampus saja mahasiswanya gak merasa ’satu’.
Syukurlah emosi gua ngga terpancing. Setelah insiden itu pun, gua gak merasa terjadi apa-apa. Enjoy aja! Tapi sebenernya gua pengen tahu masalah apa gerangan yang sedang terjadi dengan sepasang anak manusia tadi. Barangkali gua bisa bantu buat memecahkan masalah mereka. Sebenernya akan lebih baik jika loe ajak gua dan Ari untuk sharing masalah loe ke kita, daripada loe malah menambah rumit hidup loe dengan marah-marah dan menantang berkelahi.
Pesan gue buat tuh anak: kendaliin emosi yang meledak-ledak. Serumit apa pun masalah yang sedang membelit, dinginkan pikiran. Jangan melampiaskan emosi loe ke orang lain yang tidak bersalah. Dewasalah. Gunakan akal, logika, dan pikiran loe untuk berpikir tentang akibat dan efek lanjut dari setiap tindakan kita. Kita sama2 cowok, yang didesain untuk lebih menggunakan logika dan pikiran daripada emosi dan perasaan.
Oke, sekian aja sharing pengalaman dari gua. Moga-moga ada yang bisa diambil hikmahnya dari insiden ini. Ada yang mau komentar? Silakan!