Rabu, 15 April 2009

TRIP TO KARIMUN JAWA : PERJALANAN MODAL NEKAT

Pada liburan Natal dan Tahun Baru kali ini, aku dan Didik telah berencana sejak jauh hari untuk berangkat ke Karimun Jawa – sebuah kepulauan bahari yang indah. Rencana ini sudah diungkapkan oleh Didik bahkan sejak sebelum kami berangkat mendaki Gunung Slamet pada liburan Lebaran sebelumnya. Kami berdua bahkan telah berlatih snorkeling di Sabuga beberapa kali. Aku sebenarnya lebih prefer untuk mendaki gunung saja, tapi aku pun tidak melihat adanya alasan untuk menolak ajakan Didik pergi ke Karimun Jawa.


Kami berencana untuk naik Kapal Feri dari Jepara pada hari Sabtu pagi 27 Desember 2008. Tapi kami malah melakukan survey untuk Acara Akhir (diklatsar KMPA) di daerah Ciheurang pada hari Selasa hingga Kamis tanggal 23 hingga 25 Desember 2008. Kami baru pulang dari survey dan tiba di SEL pada Kamis malam. Padahal paling lambat hari Jumat sore kami harus berangkat dari Bandung.


Kami berdua memang sama sekali belum ada persiapan untuk berangkat ke Karimun Jawa. Malah, Jumat paginya aku masih sempat berleha-leha di rumah. Bahkan, Yanu pun tiba-tiba mengirim sms pada kami. Ia tiba-tiba ingin ikut kami berangkat ke Karimun Jawa. Suatu kejutan yang cukup mendadak. Akhirnya, kami pun harus menunggu Yanu sebelum berangkat – ia baru akan tiba di Bandung dari Bekasi pukul 5 sore.


Sementara itu, aku tiba di SEL pada pukul 4 sore – padahal aku telah berjanji pada Didik untuk tiba di SEL pukul 1 siang. Maklum, sifat jelekku keluar lagi. Aku berjanji tidak akan mengulanginya. Didik segera mengajakku untuk memesan tiket. Kami pun berangkat ke Stasiun Hall untuk memesan tiket kereta api ke Semarang, namun tentu saja telah penuh. Kami tidak putus asa, kami segera memacu motor di tengah rintik hujan menuju Terminal Cicaheum. Tapi ternyata bus yang menuju Jepara telah habis, begitu pun bus yang menuju Semarang. Akhirnya, karena tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi, kami berencana untuk mengeteng bus dari Cicaheum. Jadi, kami akan menaiki bus satu-persatu dari kota ke kota – yang penting kami dapat tiba di Karimun Jawa.


Sesampai di SEL, Yanu ternyata telah bersiap. Kami segera mengangkut bawaan kami yang isinya hanya sebuah tenda dan logistik pribadi, serta tidak lupa seperangkat alat snorkel yang dipinjam Didik dari teman-temannya di jurusan Oseanografi. Kami belum sempat belanja logistic makanan apa pun untuk perjalanan kami ini. Setelah kami bertiga melakukan ritual wajib KMPA setiap berangkat melakukan perjalanan: berdoa dan berfoto di depan sel; kami pun naik angkot dari gerbang belakang menuju terminal Cicaheum. Ongkos Rp.3.000 dengan waktu tempuh sekitar setengah jam.


Kami telah memutuskan untuk ganti plan : kami berencana naik Kapal dari Semarang saja, karena kami tidak akan sempat mengejar waktu apabila kami tetap keukeuh mengejar Kapal Feri ASDP dari Jepara. Menurut Didik, waktu tempuh dari Bandung ke Jepara sekitar 10 jam. Sedangkan dari Bandung ke Semarang sekitar 8 jam (waktu normal). Akhirnya kami tidak mau mengambil resiko, lebih baik langsung saja ke Semarang. Dengan estimasi tersebut, kami dapat tiba di Semarang sekitar pukul 6 pagi dan dapat langsung memesan tiket kapal seharga Rp.110.000 (bandingkan dengan tiket Kapal Feri ASDP dari Jepara yang hanya Rp.30.000).


Kami tiba di Cicaheum sekitar pukul setengah 8. Setelah bertanya pada calo di sana, ternyata bus yang menuju Semarang tidak ada lagi. Sedangkan untuk naik bus yang langsung menuju Jepara, kita harus mereservasi tiket – yang sudah ludes dibeli pemudik.


Akhirnya, kami lalu beranjak menuju pertigaan Cicaheum-A. Yani untuk melihat kesempatan mengeteng bus. Kita dapat saja mengeteng bus menuju Semarang. Di sana, ada sebuah bus dengan trayek bertuliskan Bandung-Cirebon. Bus itu masih kosong melompong. Didik nekat bertanya apakah bus itu menuju Semarang. Si kernet dan sopirnya dengan tegas mengatakan iya. Dan memaksa kami untuk naik bus tersebut. Ia sampai menjamin bahwa kami pasti akan tiba di Semarang.


Yanu sempat curiga dan ragu-ragu karena ia pernah mendapat pengalaman tidak mengenakkan menyangkut bus saat ia backpacking ke Bali pada libur panjang sebelumnya. Ia dan kawan-kawannya pernah ditipu oleh bus dengan modus operandi yang sama dengan yang kami alami saat itu.


Tapi karena tidak ada pilihan lain dan kami sedang terdesak, akhirnya kami menaiki bus tersebut. Tentu saja dengan meminta jaminan kepastian kepada kernet dan sopirnya bahwa kami akan dibawa ke Semarang. Bus pun berangkat pada sekitar pukul setengah 9 malam.


Baru beberapa saat berangkat, kernetnya telah menagih ongkos perjalanan seharga Rp.90 ribu per orang (Total Rp.270 ribu). Aku yang masih curiga, melakukan negosiasi dan akhirnya sepakat membayar Rp.200 ribu dulu, setelah sampai di Semarang, baru kami akan melunasi sisanya. Sang kernet sepakat.


Tapi ternyata, saat bus akan mengisi bensin, sang sopir yang berewokan dan berbadan besar, membangunkan kami yang baru saja tertidur lalu mendesak kami untuk membayar sisa ongkosnya dengan alasan tidak ada uang untuk mengisi bensin. Akhirnya, Didik pun membayar sisa ongkos Rp.70.000.


Kami pun tertidur kembali. Sekitar pukul setengah 1 dinihari, kami tiba-tiba dibangunkan oleh kernet dan sopirnya. Ternyata bus telah tiba di Cirebon. Yang aneh, kami disuruh untuk pindah ke bus lain yang menuju Semarang. Tentu saja kami protes. Tapi sang sopir yang berperawakan seram meyakinkan kami bahwa ‘yang penting kami bisa sampai Semarang’. Akhirnya mau tidak mau, kami pun membawa barang-barang kami ke bus lainnya. Bus penipu tadi pun segera melesat meninggalkan kami.


Di bus kali ini, sang kernet malah mendesak kami untuk membayar uang kembali. Tentu saja kami tidak mau. Kami bilang bahwa ia telah diberi uang ongkos oleh kernet dari bus penipu itu. Tapi ia bilang uangnya tidak cukup. Katanya, ia cuma diberi uang Rp.20 ribu , padahal ongkosnya seharusnya Rp.50 ribu. Tapi kami tetep ngotot tidak mau membayar. Akhirnya ia mengancam akan menurunkan kami di terminal kota XXX (lupa namanya, liat peta dulu).


Kami pikir itu Cuma gertak sambal. Tapi ternyata kami memang diturunkan di sebuah terminal. Tapi ternyata bukan hanya kami yang diturunkan, penumpang lain pun begitu. Sepertinya bus itu berniat mengosongkan penumpangnya.


Untungnya, ada sebuah bus yang benar-benar menuju Semarang. Kami mengangkut bawaan kami ke bus tersebut. Konsekuensinya, kami harus membayar ongkos lagi. Waktu menunjukkan sekitar pukul setengah 3 pagi. Setelah sempat menghirup segelas kopi susu dan sebatang rokok, aku pun naik bus yang segera melesat menuju Semarang.


Setelah sempat tertidur, aku pun terbangun dan sempat melihat pemandangan di yang berlarian di kiri-kananku. Pada sekitar pukul 6.15 pagi, akhirnya bus sampai juga di Semarang. Kami pun turun pinggir jalan, tepat di samping Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang.


Kami harus mencari informasi tentang Kapal Motor Cepat (KMC) Kartini I terlebih dahulu. Akhirnya kami memutuskan untuk naik becak ke sebuah armada penjual tiket kapal. Ternyata orang di sana tidak tahu. Ia lalu menunjukkan pada kami kapal Kartini I yang sedang bersandar di dermaga dan akan berangkat ke Karimun Jawa. Ia lalu menyarankan kami untuk bertanya saja di sana.


Akhirnya kami pergi ke Gate 1 diantar oleh tukang becak. Di gate tersebut, kami menitipkan carrier serta alat snorkel di pos satpam untuk kemudian mendatangi KMC Kartini I . Suasana pelabuhan cukup sepi. Matahari tidak bersinar dengan terik, tapi tetap saja hawa terasa gerah.


Kapal itu berwarna putih dan terkesan mewah. Ya, kapal itu ternyata harganya mencapai Rp.15 miliar. Pembelian kapal tersebut hasil patungan antara pemerintah provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Jepara (kalau tidak salah). Katanya, pemerintah provinsi menyumbang Rp.14 miliar, sedangkan pemerintah Jepara hanya menyumbang Rp.1 miliar. Ya, Karimun Jawa merupakan kecamatan yang berada di wilayah regional Kabupaten Jepara. Kapal itu memang khusus diperuntukkan sebagai sarana transportasi wisata ke Pulau Karimun Jawa yang diberangkatkan dari Semarang.


Di kapal tersebut, terlihat beberapa awak kapal seusia kami yang berseragam rapih ala kelasi. Kami bertanya pada mereka tentang cara pembelian tiket kapal tersebut. Mereka berkata bahwa pembelian tiket berada di Dermaga lain yang dapat ditempuh melewati Gate IV. Akhirnya kami pun memutuskan untuk bertanya ke sana. Didik yang berangkat, sementara aku dan Yanu menunggui barang bawaan kami. Info selanjutnya akan diberitahu via sms, maka aku pun menghidupkan hape ku.


Setelah menunggu selama sekitar sejam, Didik memberitahu kabar pada kami. Ternyata kabar buruklah yang kami terima. Tiket untuk kapal itu harus direservasi via sms ke Bapak itu (kontaknya dapat dilihat di internet). Harga tiket Rp.110.000 per orang, yang harus dibayar di tempat ketika kapal diberangkatkan. Tapi Didik melihat ada kesempatan untuk berangkat. Mungkin saja ada orang yang membatalkan pesanan tiketnya, atau tidak datang hingga kapal akan diberangkatkan, maka kami dapat mengambil alih tiket tersebut dan membelinya. Akhirnya kami pun menggendong carrier kami dan berjalan dari Gate 1 ke Gate IV sejauh sekitar 1,5 km, dalam terik matahari dan gersangnya pelabuhan itu. Peluh bercucuran di dahiku, ketika akhirnya kami tiba di dermaga di Gate 1.


Sesampai di sana, untunglah kami bertemu Didik yang sedang dibonceng seorang awak kapal Kartini I. Ternyata kami harus kembali (lagi!) ke Gate 1, karena di sanalah kami dapat bernegosiasi soal tiket. Akhirnya aku dan Yanu pun berjalan balik ke Gate 1. Untunglah awak kapal tadi menjemput dan mengantar kami berdua bolak-balik menggunakan sepeda motornya (Yamaha Scorpio) ke Gate 1 tempat kapal itu berada.


Sesampai di sana, terlihatlah seorang bapak yang dikerumuni oleh banyak orang. Ternyata mereka pun senasib dengan kami. Mereka pun mendesak Bapak itu untuk menjual tiketnya. Bahkan, satu keluarga Bule bersedia membayar berapa pun untuk membeli 5 buah tiket ke Karimun Jawa. Tapi Bapak itu tetap tidak mau menjual tiketnya, kecuali kepada orang yang telah mereservasi tiket kepadanya via sms.


Kapal tadi memiliki trayek dari Semarang – Karimun Jawa berangkat pada hari Rabu dan Sabtu pagi, dengan harga tiket sekitar Rp.110.000 dan waktu tempuh hanya 3 jam. Dan kembali dari Karimun Jawa – Semarang setiap hari Senin dan Kamis. Jarak tempuhnya sekitar 110 km.


Sedangkan kapal Feri ASDP berangkat dari Jepara ke Karimun Jawa pada hari yang sama, yaitu Rabu dan Sabtu pagi, dengan harga tiket Rp.30.000 dengan waktu tempuh sekitar 7-8 jam. Dan kembali dari Karimun Jawa – Jepara setiap hari Senin dan Kamis. Jarak tempuh sekitar 80 km.


Sayang sekali, nampaknya kami tidak ditakdirkan menaiki kapal tersebut. Hingga saat kapal akan diberangkatkan, semua orang yang mereservasi tiket telah datang dan mengambil tiketnya. Artinya, kapal kecil tapi cukup eksklusif tersebut terisi penuh oleh sekitar 150 orang penumpang.


Yah, kami pun bingung harus berbuat apa. Kami sempat berpikir untuk ikut kapal pada hari Rabu (4 hari kemudian), tapi itu tidak mungkin, karena kami harus mengikuti Ujian Akhir pada hari Seninnya. Bahkan, kami sempat kepikiran untuk pergi saja ke Pulau Sempu dan menyusul rombongan Ika dkk.


Akhirnya, kami pun bergabung dengan 2 orang dari Jakarta yang juga ketinggalan kapal. Padahal rombongan mereka sejumlah 15 orang telah berangkat naik kapal itu ke Karimun Jawa. Akhirnya setelah diberitahu seorang awak kapal bahwa mungkin saja di Jepara masih ada kapal yang berangkat ke Karimun Jawa, kami pun – bersama 2 orang yang baru bergabung tadi – segera memutuskan untuk segera berangkat ke Pelabuhan Kartini di Jepara. Waktu telah menunjukkan pukul 10 lewat.


Area pesisir Semarang ternyata adalah wilayah yang berhawa gerah, dengan matahari yang bersinar amat terik. Bahkan, debu-debu banyak sekali bertebaran di sini. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya bila aku harus tinggal di kota seperti ini.

Kami lalu diantar seorang bapak pegawai pelabuhan menggunakan sebuah mobil Kijang dinas hingga ke Terminal Terboyo, dengan sedikit imbalan pemberian uang bensin sebesar Rp.50.000 yang dibayar oleh Adi – seorang karyawan trainee Sclumbergee yang baru diterima bekerja di sana selama beberapa bulan.


Setelah menikmati beberapa onggok gorengan di jalan masuk menuju terminal, kami pun masuk ke terminal. Kami berencana menaiki bus antarkota dengan trayek Semarang – Jepara yang menurut Didik memiliki waktu tempuh sekitar 2 jam. Kami memasukkan carrier kami ke bus. Setelah itu aku dan Yanu pun pergi kencing.


5 menit kemudian setelah kencing, kami berdua kaget. Bus yang tadi parkir ternyata sudah berganti wajah. Ternyata bus yang tempat kami menaikkan barang tadi telah berangkat. Astaga! Untungnya kami pun ditelepon oleh Didik. Ternyata bus tadi telah keluar dari terminal, dan saat ini Didik sedang berlari menjemput kami menuju terminal. Kami pun berlarian menuju bus tersebut, takut ditinggal pergi bersama barang-barang kami.


Untungnya dari kejauhan bus itu masih mengetem. Kami pun selamat dan masuk ke dalam bus itu. Tapi cobaan masih berlanjut. Kali ini Didik yang sempat-sempatnya masih berpikir untuk pergi kencing setelah insiden kencing kami tadi. Bus yang akan segera berangkat segera kami tahan sebentar. Untunglah Didik pun segera datang dan bergegas menaiki bus. Fiuh! Kami pun menarik napas lega dan berpikir betapa hebatnya petualangan kami hari ini. Dan akan lebih lengkap lagi kalau kami bisa sampai ke Karimun Jawa.


Sepanjang perjalanan ternyata jalanan amat macet. Terutama di jalanan yang berada di perbatasan kota Semarang. Nampaknya sedang diadakan perbaikan jalan yang parah. Aku tidak sabar menunggu di dalam bus tersebut. Ayam yang ditempatkan di tas ayam yang ditaruh di dekat kakiku berpetok dengan kencang saat ia tidak sengaja tersepak olehku.


Sekitar pukul 13 kami pun tiba di Jepara. Kami turun di persimpangan yang menuju Dermaga Kartini. Dari sana, kami berjalan hingga Dermaga. Cuaca di Jepara cukup panas, matahari bersinar dengan terik.


Terlihat tidak ada kesibukan di dermaga Kartini. Akhirnya kami pun bertanya pada seorang penjaga warung sekalian melepas haus tentang kemungkinan naik kapal menuju Karimun Jawa. Ia memberikan informasi bahwa sering ada kapal yang berangkat ke Karimun Jawa di daerah pelabuhan Demakan. Akhirnya kami pun memutuskan untuk beristirahat dulu di Terminal Jepara, sekalian mencari informasi tentang kapal tersebut. Otomatis kami pun bergantung kepada Didik, karena ia memang memiliki jiwa kepemimpinan serta kemampuan berbahasa Jawa yang sangat kami andalkan.


Di terminal Jepara, kami pun beristirahat di sebuah warung, sementara Didik dan Adi berangkat mencari informasi ke dermaga. Jepara adalah kota yang tenang, tapi berhawa panas karena matahari bersinar dengan terik. Nampaknya, becak adalah sarana transportasi yang utama di sini. Kota ini masih memiliki banyak lahan kosong yang kebanyakan diperuntukkan sebagai sawah, serta kolam pemancingan. Jepara adalah khas sebuah kota kecil yang sepi dan damai. Kota ini terkenal dengan Ibu Kartini-nya serta terkenal dengan Ukiran Jepara yang khas.


Selama menunggu, kami sempat mengobrol dengan penduduk sekitar. Kami dinasehati agar jangan naik kapal nelayan ke Karimun karena beberapa hari sebelumnya terjadi kapal yang hilang ditelan badai ketika berangkat melaut. Seluruh awak kapal (sekitar 5 orang) hilang di tengah laut, bahkan bangkai kapalnya pun sampai saat ini belum ditemukan. Menurut mereka, akhir-akhir ini memang sering terjadi badai dan ombak memang sedang menggila. Jo, salah seorang rombongan yang tadi bergabung dengan kami, cukup terpengaruh oleh cerita tersebut. Termasuk juga Yanu.


Akhirnya Didik dan Adi pun kembali. Mereka bercerita bahwa ada kapal nelayan yang mengangkut barang-barang sembako seperti beras, minyak, mie, dll ke Karimun. Kapal nelayan itu akan berangkat nanti malam pada pukul 20.00 dari Dermaga Demakan. Akhirnya aku dan Didik pun membulatkan tekad untuk berangkat ke Karimun menumpang kapal tersebut. Kami berpikir, dengan cara bagaimana pun kami harus sampai di Karimun. Maka kami mempertaruhkan segala yang kami punya saat itu untuk dapat sampai ke Karimun.


Berbeda dengan Jo dan Adi. Sesampainya di Dermaga Demakan dan melihat kapal nelayan yang akan mengangkut kami, mereka seketika juga menghentikan niat mereka untuk berangkat ke Karimun. Yanu pun berpikir untuk kembali saja ke Bandung.


Untung saja Yanu dapat dipengaruhi oleh Didik agar ikut berangkat ke Karimun menumpang kapal nelayan itu. Didik ternyata pandai mempengaruhi orang lain. Ia berkata bahwa ‘Masa kita berangkat bertiga, tapi pulang tinggal berdua??’, atau bujukannya yang lain ‘Kita di KMPA diajari untuk percaya dengan teman-teman kita. Gua dan Gustaf percaya kalau kapal yang akan kita naiki aman. Masa lo gak percaya ama kita??’ dsb berhasil memengaruhi Yanu untuk berubah pikiran dan berangkat bersama kami.


Hanya saja ada yang sedikit mengkhawatirkanku. Hal itu adalah adanya kemungkinan kami dirampok saat berada di atas kapal, kemudian kami dibuang ke tengah laut. Ya, hal itulah yang paling merisaukanku. Bukanlah badai, ombak yang besar, atau lainnya. Aku lalu bertanya tentang seberapa baik pemilik kapal tersebut. Didik dengan yakin menjawab bahwa pemilik kapal tersebut terkesan adalah pria yang baik hati. Ia lalu meyakinkanku bahwa kamilah yang meminta tumpangan kepada mereka, dan bukan mereka yang menawarkan tumpangan.


Akhirnya kami pun mempacking barang-barang kami dengan baik ke dalam carrier. Setelah belanja dan makan malam dengan Soto Daging yang cukup nikmat, sekitar pukul 20 lewat beberapa menit kami pun berjalan ke dermaga Demakan. Sesampainya di sana, segera saja beberapa orang awak kapal segera naik ke kapal tersebut. Kapal tersebut memiliki lebar sejauh 3 meter, serta panjang hanya sekitar 10 meter.


Kapal nelayan pun segera berangkat dari dermaga yang berada tepat di bawah jembatan yang melintasi sebuah sungai. Di sepanjang sisi sungai itu, banyak terdapat kapal-kapal kecil yang bertebaran. Dengan susah payah, awak kapal berhasil mengeluarkan kapal kami keluar dari dermaga menuju ke laut lepas. Ternyata, selama usaha tersebut, kapal kami mengalami sedikit kebocoran akibat berbenturan dengan perahu-perahu kecil yang bertebaran sepanjang pinggiran sungai. Dan akibatnya, para awak kapal (yang sejumlah 5 orang) beserta pemilik kapal harus terus menerus memompa air yang bocor keluar dari kapal. Itu baru kami ketahui setelah tiba di Karimun. Tidak terbayang bagaimana jadinya kalau kapal tersebut tenggelam karena kebocoran tersebut. Di kapal tersebut sama sekali tidak ada alat penyelamat seperti Rescue Vest atau sejenisnya.


Kapal tersebut berencana untuk singgah dulu di Pulau Panjang yang berada sekitar 500 meter dari pulau Jawa sebelum berangkat ke Karimun Jawa. Beberapa menit setelah lepas dari dermaga, tiba-tiba hujan menerpa dengan mendadak. Kami pun segera memindahkan carrier kami dan memasukkannya ke dalam satu-satunya ruangan di kapal tersebut. Aku hampir saja tergelincir jatuh ke laut karena harus membawa sebuah carrier serta kondisi lantai kapal yang basah karena hujan. Untung saja masih ada bambu tempatku berpegangan.


Aku lalu masuk ke dalam ruangan tersebut. Dimensinya sekitar 3x3 meter saja. Ruangan itu sangat berisik oleh suara mesin kapal yang menderu dengan kencang. Aku tiba-tiba merasa sangat pusing. Kapal itu begitu terombang-ambing oleh ombak, terlunjak-lunjak dari kiri-kanan, depan-belakang dengan frekuensi yang tinggi. Aku pun segera berusaha untuk berbaring melebar – karena posisi itulah yang paling tidak membuatku mual. Untungnya aku pun dapat tertidur hingga keesokan paginya, walaupun beberapa kali harus terbangun karena awak kapal harus menyalakan mesin yang berada tepat di bawah papan tempat kami tertidur.


Saat terbangun, kapal masih terombang-ambing dengan kencang. Aku keluar dari ruangan tersebut menuju dek kapal. Langit masih nampak mendung dan hujan rintik masih sesekali menerpa. Tapi dari kejauhan terlihat pulau yang kecil dan terlihat eksotis. Itulah pulau Cilik dan pulau Gosong.

Ternyata itulah kepulauan Karimun Jawa yang kami impikan! Kami bertiga pun bersorak dan berteriak dengan girang.


Dan ternyata kekhawatiranku tidak terbukti. Para awak kapal dan pemiliknya adalah pribadi yang baik hati dan tidak memiliki niat buruk. Maafkan saya ya pak, udah berpikiran negatif… Tapi anggap saja itu salah satu sikap waspada saya, hehe.


Kapal itu ternyata memiliki tujuan ke dermaga di daerah Batu Lawang. Kami tiba di Batu Lawang pada hari Minggu 28 Desember 2008 sekitar pukul setengah 11 pagi. Kami berangkat dari Pulau Panjang sekitar pukul 2 dinihari. Total perjalanan selama 8 jam. Pak pemilik kapal tidak mau dibayar, tapi Didik segera menitipkan uang sejumlah Rp.75.000 kepada awak kapal untuk diberikan kepada pemilik kapal. Aku merayakan tibanya kami di Karimun Jawa dengan mencebur ke laut di bawah dermaga. Lautnya begitu jernih, walaupun tetap ada beberapa sampah kecil yang bertebaran – yah namanya juga area dermaga.


Batu Lawang merupakan daerah suku bangsa Bugis. Ya, Karimun Jawa memang dihuni oleh para pendatang, yang kebanyakan berasal dari etnis Jawa dan Bugis. Kami sebenarnya tertarik untuk melihat-lihat di daerah Batu Lawang.


Tapi ternyata ada sebuah mobil carteran yang tiba-tiba singgah di dermaga Batu Lawang, dekat sekali dengan kapal yang tadi mengangkut kami bersandar. Setelah mengobrol dengan sang sopir, kebetulan sekali mobil itu akan segera kembali ke area pusat Karimun Jawa – yang merupakan area suku Jawa. Setelah sepakat untuk ikut membayar seharga Rp.50.000, kami pun diangkut bersama keluarga yang mencarter mobil tersebut.


Ternyata jarak dari Batu Lawang hingga ke area pusat Karimun Jawa sangat jauh. Jarak yang kami tempuh kira-kira sejauh 25 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Ternyata Batu Lawang dan pusat area Karimun memang berada di ujung ke ujung Pulau Karimun Besar.


Kami pun diturunkan di depan sebuah lapang bola yang berada di depan sebuah Tempat Informasi Wisata Karimun Jawa. Para wisatawan kere ini pun singgah di sebuah warung untuk makan siang dan mencari informasi – warung itu bernama Kantin Melati yang nantinya menjadi warung langganan kami makan selama di Pulau Karimun Besar.


Suasana di sini terasa begitu mengasikkan. Khas sebuah desa pesisir yang terkesan tenang dan damai. Matahari bersinar dengan bersahabat. Jalanannya bersih dan sepi. Sesekali ada sepeda motor yang melewatinya. Air laut di dermaga ternyata jernih, walaupun tetap ada tebaran sampah-sampah kecil yang terombang-ambing oleh arus. Beberapa orang turis terlihat berkeliaran.


Tidak berapa lama kemudian, Didik yang memiliki nomor kontak Pak Moko dari Sigit segera menghubungi Pak Moko. Pak Moko adalah seorang nelayan yang dipercaya untuk menjadi penjaga Pulau Menjangan Besar dan menjaga area pengembang biakan Penyu serta burung Elang Jawa di Pulau Menjangan Besar . Didik berhasil membawa Pak Moko untuk menjemput kami di Pulau Karimun Besar.


Kami pun segera berangkat ke dermaga tempat kapal nelayan kecil bersandar. Ternyata pulau Menjangan Besar adalah pulau yang tepat membentang di hadapan kami. Jarak yang memisahkan pulau Menjangan Besar dengan Pulau Karimun Besar adalah hanya sekitar 400 meter. Setelah pelanga-pelongok, akhirnya Pak Moko mendatangi kami. Kami pun segera menaiki kapal nelayan bermotor milik pak Moko yang berdimensi sekitar 1x4 meter. Waktu tempuh hingga ke pulau Karimun Besar hanya sekitar 5 menit saja.


Kapal Pak Moko harus selalu bergerak di jalur pergerakan kapal yang ditandai dengan beberapa tiang besar yang menandai batas terumbu karang. Jika tidak berada pada jalur, kapal dapat menghantam karang dan bocor.


Kami pun tiba di Pulau Menjangan Besar. Kapal dihentikan oleh Pak Moko di samping sebuah rumah terapung. Kami sempat melihat rumah terapung itu, yang ternyata adalah kediaman Pak Moko. Di rumah terapung itu, terdapat sebuah kolam yang berisi ikan Hiu – ada juga ikan Barakuda dan ikan-ikan kecil lainnya. Sekelompok wisatawan terlihat sedang menikmati tingkah laku ikan Hiu tersebut. Bahkan ada pula yang berada di dalam kolam Hiu tersebut dan berenang bersama mereka. Olala, ternyata Hiu tersebut telah jinak-jinak. Ada juga seember penuh berisi anak-anak penyu yang kecil dan lucu.


Pak Moko lalu mengajak kami masuk ke dalam Pulau Menjangan Besar. Pulau ini ternyata adalah pulau berpasir putih yang dipenuhi dengan semak dan pohon kelapa. Dan olala, kami pun disambut oleh nyamuk-nyamuk nakal yang begitu agresif menyambangi kulit kami.


Setelah berjalan sebentar, kami pun tiba di sebuah kandang besar berisi seekor burung Elang Jawa. Kemudian ada pula sebuah kandang tempat para penyu menetaskan telornya. Sayang sekali, kandang tersebut sedang kosong. Nah, tepat di samping kandang penyu itulah, terdapat sebuah pos jaga bertipe rumah panggung yang hanya berukuran 2x2 meter.


Ternyata sudah ada serombongan bagpacker yang telah menginap di sana sejak malam sebelumnya. Mereka berenam adalah sekelompok anak SMK yang berasal dari Jogja.


Kami pun segera mendirikan tenda. Tapi, ternyata tenda yang susah payah kami bawa dari Bandung tidak bisa digunakan karena frame (rangka) tenda itu telah patah. Astaga… Tapi bukannya mengakali frame itu, alhasil kami malah segera membuka baju dan bersnorkel ria.


Terumbu karang di Pulau Menjangan Besar kebanyakan tersebar tepat di area di hadapan kami. Terumbu karang di sini cukup menarik, apalagi buat ku yang seumur-umur belum pernah melihat terumbu karang secara langsung. Berbagai warna terumbu karang bertebaran. Ikan-ikan kecil berenang-renang di sela-sela terumbu karang. Di sini pun banyak terdapat Bulu Babi yang sangat menyebalkan. Bentuknya terlihat ‘angker’ dan membuat kami sedikit takut apabila berada di dekat kumpulan Bulu Babi. Bahkan, Didik pernah menginjak Bulu Babi sehingga kakinya terlihat memerah dan menurutnya terasa perih. Haha, syukurin lo. Didik memang anak yang bandel.


Dari Pulau Menjangan Besar, kami dapat melihat tempat tertinggi di Kepulauan ini, yaitu sebuah puncak gunung yang kami estimasi dapat mencapai tinggi sekitar 300-400 mdpl. Kami berangan untuk dapat mendaki gunung tersebut apabila suatu saat datang lagi ke Karimun Jawa.


Malam itu, kami menginap di Pos Penjagaan Penyu bersama rombongan dari Jogja. Saat makan malam, aku sempat membuat api unggun besar yang sangat mudah diciptakan karena kayu dan daunnya benar-benar kering. Suatu hal yang sulit aku lakukan jika berada di tengah hutan yang basah.


Menjelang pukul 10 malam, kami pun menggelar sleepingbag dan berusaha tidur di Pos Penjagaan. Ternyata nyamuk di sini sangat amat ganas. Kami hampir tidak bisa tidur. Untung saja kami membawa sedikit Autan yang kami beli saat berada di Jepara.


Esok harinya – pada hari Senin sekitar pukul 6 pagi, rombongan dari Jogja pun berpamitan pada kami karena mereka harus kembali pulang menggunakan kapal Feri yang akan berangkat pagi itu. Mereka berencana menyeberang ke Pulau Karimun Besar menumpang kapal milik Pak Edi, seorang nelayan penjaga keramba peternakan Kerapu Bebek yang berada tidak jauh dari rumah terapung Pak Moko. Ya, setiap pagi pada pukul 6, pak Edi memang selalu menyeberang ke Pulau Karimun Besar untuk berbelanja di ‘pasar’.


Aku dan Didik ikut bersama mereka menumpang kapal Pak Edi untuk berbelanja ke pasar di Pulau Karimun Besar – dekat dengan Kantin Melati tempat kami makan siang sesaat setelah kami tiba di sini.


Sesampainya di sana, ternyata pasar yang kami datangi adalah sebuah tempat berjualan kaki lima dadakan yang hanya ada pada pukul 5 hingga pukul 7 pagi setiap harinya. Lepas dari jam tersebut, tempat itu hanya ruas jalan biasa yang sepi. Di ‘pasar’ itu, dijual berbagai macam bahan makanan yang didatangkan dari Jepara. Ada ayam, kue-kue, sayur, dan tentu saja berbagai jenis ikan.



Aku dan Didik membeli bahan makanan untuk keesokan harinya seperti sayur serta daging ayam, serta tidak lupa Autan. Setelah itu, kami pun segera pergi ke dermaga untuk kembali menumpang kapal Pak Edi kembali ke Pulau Menjangan Besar.


Hari Senin itu terasa begitu lama. Kami menggelar matras di atas pasir putih tepat di samping kandang Elang Jawa. Suasana begitu menyenangkan, matahari yang bersinar dengan cerah tertutupi oleh pepohonan yang rindang di atasku. Aku berbaring di atas matras dan mulai membaca novel ‘Silence of The Numb’-nya Dr. Hannibal yang kupinjam dari Pitimoss – sebelum aku tertidur dengan pulas. Sementara itu, Didik dan Yanu berkeliling Pulau Menjangan Besar, mencari berbagai jenis keong yang akhirnya mereka tempatkan di atas ponco berisi air yang ditaruh di cekungan pasir. Didik pun membawa beberapa butir kelapa yang ia panjat dari pohon kelapa yang begitu banyak di pulau itu. Beberapa saat kemudian kami pun kembali bersnorkel ria selama satu dua jam.


Malam pun tiba. Berdasar atas pengalaman kami pada malam sebelumnya yang digegoroti oleh nyamuk, maka kami berniat untuk menumpang tidur di keramba Kerapu milik pak Edi. Maka kami pun mencoba untuk melakukan apa yang dinamakan oleh ilmu Pecinta Alam sebagai ‘Sosialisasi Pedesaan’. Kami mencoba untuk berbaur dengan nelayan di keramba tersebut untuk dapat survive dan merasakan secara langsung kehidupan mereka.


Malam itu, kami diajak untuk memancing dengan menggunakan segulung benang serta kail kecil. Kami melihat begitu mudah seorang penjaga keramba memancing seekor Sotong. Sotong itu memuncratkan tintanya ke segala arah saat ia ditarik keluar dari air laut. Ternyata untuk memancing Sotong, ia menggunakan bentuk kail yang menyerupai udang-udangan kecil yang berpendar kemerahan di dalam gelap. Mata kail yang digunakan benar-benar tidak berperikebinatangan. Mata kailnya sangat tajam. Sotong yang terperangkap kail pasti tidak akan bisa lepas dari pancingan.


Didik yang memang selalu ingin tahu dan selalu ingin mencoba segera tertantang. Ia pun meminjam pancingan dari bapak tersebut. Aku dan Yanu pun tidak mau ketinggalan. Kami segera meminjam berbagai jenis kail.


Untuk memancing seekor ikan besar, kami harus menggunakan umpan berupa ikan kecil yang masih hidup. Ikan itu disangkutkan pada kail yang diperuntukkan untuk memancing ikan – karena ada berbagai jenis kail yang memang memiliki fungsi yang berbeda-beda tergantung ikan yang ingin kita pancing. Lalu kail yang telah disangkutkan ikan hidup itu kita lempar sejauh mungkin – kalau bisa kita lempar ke area yang terlihat banyak ikan lalu lalang. Lalu biarkan umpan kita itu berenang-renang ke sana kemari hingga dimakan oleh ikan incaran kita.


Sedangkan apabila ikan kecil yang digunakan sebagai umpan hidup telah habis, kita dapat memancing ikan kecil dengan cara menyangkutkan sekerat daging ikan ke kail, kemudian melemparkannya ke arah area ikan kecil banyak berenang.


Nah itu cuma teori saja. Kenyataannya, ternyata sangat susah untuk memancing ikan. Sepanjang Senin malam itu – termasuk pada malam berikutnya – kami sama sekali tidak mendapatkan seekor ikan pun. Kami memancing di bawah sebuah lampu neon yang berpijar dengan terang. Lampu neon itu berguna untuk menarik ikan-ikan dan sotong agar mendekat kepada kami.


Angin laut pada malam itu terasa dingin menerpa kami. Aku merasa sedikit pusing, karena keramba tersebut selalu bergoyang-goyang oleh arus laut – tapi tentu saja tidak sedahsyat goyangan kapal yang kami naiki saat berangkat ke Karimun Jawa.


Sambil mengobrol, kami berulang kali melemparkan kail kami, tapi hasilnya nihil. Kami baru dapat memancing seekor ikan umpan kecil pada siang harinya, ketika kami dapat melihat dengan jelas. Itu pun tidak pernah mendapatkan ikan besar.


Kami memancing sambil mengobrol hingga sekitar pukul 10 malam saat genset yang digunakan untuk listrik di keramba tersebut dimatikan oleh Pak Edi. Kami lalu diajak oleh Pak Edi untuk bermalam di sebuah gubuk kecil yang juga berada di keramba tersebut. Untungnya, gubuk kecil sebesar 2x2 meter itu tidak bergoyang-goyang karena pondasinya ditancapkan langsung ke pasir di bawahnya. Tapi tetap saja, di bawah gubuk tersebut adalah air laut dan terumbu karang.


Kami lalu terbangun pada hari Selasa pagi. Hari itu, kami telah mengungkapkan rencana kami untuk menyambangi Pulau Menjangan Kecil kepada Pak Edi. Lalu pak Edi segera memanggil adiknya yang memiliki kapal nelayan kecil untuk mengantar kami ke Pulau Menjangan Kecil. Pulau Menjangan Kecil adalah pulau yang berada tepat di belakang Pulau Menjangan Besar tempat kami berada.


Setelah Didik melakukan proses negosiasi, akhirnya disepakati bahwa kami akan membayar Rp.50.000 untuk diantar pagi itu, kemudian dijemput kembali pada pukul 5 sore. Kami lalu packing dan membawa alat masak, bahan makanan seadanya, dan tentu saja alat snorkel.


Perjalanan menggunakan kapal menuju Pulau Karimun Kecil sekitar 15 menit. Sebenarnya jarak Pulau Menjangan Besar ke Pulau Menjangan Kecil tidak jauh, hanya terpisah sekitar 500 meter saja. Tapi, kapal harus memutar dengan cukup jauh untuk menghindari terumbu karang yang banyak tersebar di sekeliling Pulau Menjangan Besar. Ada patok-patok setinggi 5 meter yang telah berlumut menandai batas terumbu karang dengan laut bebas sebagai penanda jalur kapal nelayan.


Sangat menyenangkan berjalan-jalan dengan kapal nelayan bermotor itu. Melihat laut jernih yang cukup dangkal yang hanya berkedalaman sekitar 20 meter saja di bawah kami. Air laut di kepulauan Karimun Jawa adalah laut yang amat tenang. Tentu saja, jika tidak tenang, tentu tidak akan ada terumbu karang di sini. Terlihat beberapa pulau di kejauhan yang terkesan menjauhkan diri dari Pulau Karimun Besar. Angin laut menerpa tubuh kami, disertai dengan matahari yang bersinar dengan cerah tapi tetap bersahabat. Terbayang olehku betapa menyenangkan berada di Karimun Jawa apabila kencan bersama dengan wanita terkasih, hehe.


Beberapa menit kemudian kami pun tiba di dermaga Pulau Menjangan Kecil. Namun baru beberapa saat tiba di dermaga, kami disambut dengan gonggongan sekumpulan anjing penjaga. Tiba-tiba seorang pemuda pun menghampiri kami. Ia membawa sebuah tiket yang bertuliskan Resort Pulau Menjangan Kecil. Owh, ternyata kami harus membayar tiket masuk untuk dapat menginjakkan kaki di Pulau Menjangan Kecil. Tiket itu seharga Rp.10.000 per orang yang diperuntukkan bagi semua orang yang berniat melihat-lihat Pulau Menjangan Kecil. Ada pula beberapa unit bungalow serta rumah kecil seukuran 5x5 meter yang difungsikan sebagai penginapan (resort).


Ternyata pemilik Pulau Menjangan Kecil adalah seorang pengusaha dari Tuban yang lalu membangun resort kecil di pulau miliknya tersebut – dan tentu saja sebagai villa tempatnya dan keluarganya berlibur.


Ya, pulau-pulau kecil di Karimun Jawa memang hampir seluruhnya telah dimiliki oleh perseorangan. Pulau Cilik dan Pulau Gosong – pulau di Karimun Jawa yang pertama kali akan kita temui apabila pergi ke Karimun Jawa menggunakan kapal Feri – juga telah dibeli oleh bule dari luar negeri.


Kemudian pulau-pulau itu banyak yang dikomersialkan sebagai objek wisata. Ada sebuah pulau di kepulauan Karimun Jawa yang setiap merapat ke dermaga di pulau itu, satu buah kapal diharuskan membayar Rp.100.000. Kemudian juga harus membayar tiket masuk seharga Rp.10.000-Rp.20.000 per orang. Tapi (katanya) fasilitas di pulau itu memang ekslusif. Ada kolam renang serta kolam air panas. Dan tentu saja ada pula sejenis hotel dan bungalow. Wow! Aneh sekali saat mengetahui bahwa asset negara yang berupa pulau (tanah) ternyata dimiliki oleh perseorangan yang bahkan kemudian dijadikan objek komersial.


Setelah membayar tiket masuk, kami pun segera mencari tempat nongkrong. Pulau ini adalah pulau yang sepi. Tidak ada orang lain yang kami ketemui, kecuali penjaga pulau ini yang tadi menghampiri kami. Ternyata pulau Menjangan Kecil telah dipercantik sedemikian sehingga terlihat cukup menarik – tapi tentu saja hanya di sekitar resort. Pasir putihnya terbentang di sepanjang pulau. Ada jejeran pohon Kelapa berjejer di sepanjang pasir putih ibarat prajurit mengawal rajanya. Tidak lupa beberapa bungalow dibangun pula di pesisir pantai. Ada pula sebuah ayunan di dekatnya.


Kami lalu segera menggelar peralatan yang kami bawa – trangia, golok, alat snorkel, dll. Tidak berapa lama kami berada di sana, tiba-tiba datanglah serombongan orang yang juga berniat sama seperti kami – melihat-lihat pulau Menjangan Kecil.


Serombongan ini ternyata terdiri dari 4 orang turis – 2 orang merupakan bule. Yah aneh, ternyata salah satu pasangan ini merupakan pasangan gay (homo) – satu orang pria bule dan seorang lain pria pribumi. Sedangkan pasangan yang satunya adalah pasangan normal – seorang pria bule dan seorang wanita pribumi.


Astaga! Betapa aneh melihat tingkah polah pasangan gay itu. Mereka berpelukan, berciuman, dan saling sayang-sayangan. Padahal, mereka memiliki fisik yang terlihat normal seperti pria tulen lainnya. Dari pengamatan kami, pria bule homo terlihat lebih feminine sedangkan pria pribumi lah yang terkesan gentlemen. Aku tidak habis pikir melihat tingkah polah mereka. Dasar zaman edan!


Sedangkan pasangan normal yang satu lagi terlihat asik bermesraan – tidak malu-malu di dekat kami. Mungkin dilihatnya kami masih pemuda ingusan. Kami pun tidak ambil pusing dengan mereka.


Kami lalu bersnorkel di Pulau Menjangan Kecil. Huh, terumbu karang di pulau ini tidak menarik. Katanya, ekosistem terumbu karang di sini telah hancur karena bom yang banyak digunakan oleh nelayan untuk mendapatkan ikan.


Kami pun sempat memancing ikan di sini, yang hasilnya 2 ekor ikan yang kami goreng di atas trangia sebagai makan siang. Ikan laut itu rasanya cukup enak. Tidak lupa kami pun berfoto ria di sekeliing pulau Menjangan Kecil. Aku pun sempat memanjat pohon kelapa dan membawa pulang 2 butir kelapa yang ternyata ketuaan.


Kami pun mengobrol hingga puas, terutama Yanu yang curhat tentang kehidupan cintanya. Haha. Puas mengobrol, pada pukul 3 sore aku berkeliling pulau ini. Ternyata pulau ini dipenuhi dengan semak belukar dan pohon kelapa. Katanya, pulau Menjangan Kecil dan Menjangan Besar dulunya dipenuhi dengan banyak menjangan (rusa) yang berkeliaran dengan bebas, makanya pulau-pulau ini dinamakan pulau Menjangan. Tapi saat ini, tidak ada lagi menjangan yang tersisa. Beberapa gubuk nelayan terlihat dibangun di tengah pulau.


Aku pun sempat berpikir, betapa membosankannya tinggal di pulau terpencil seperti ini. Tidak dapat kubayangkan bila aku harus menjadi penjaga pulau ini. Tidak ada TV, radio, bahkan listrik pun hanya dinyalakan apabila ada tamu di resort. Bisa gila bila aku harus tinggal di sini. Kerjaan setiap hari hanya menganggur alias nyampah, memancing ikan-ikan kecil, dan hal-hal tidak menantang lainnya.


Kami lalu menunggu jemputan kapal yang akan membawa kami kembali ke pulau Menjangan Besar. Rombongan bule tadi – yang katanya adalah rombongan mahasiswa UGM Jogja – telah duluan pulang pada sekitar pukul 3 sore tadi. Tapi, kapal kami tidak kunjung muncul. Kami sempat berpikir, gawat juga apabila kami sampai terdampar di pulau ini. Apalagi bahan makanan kami sudah habis.


Untunglah, menjelang magrib, kapal yang menjemput kami pun tiba. Nampaknya, kapal itu baru saja pergi memancing dari tengah laut. Kami menarik napas lega.


Kami pun bergegas membawa perlengkapan kami ke atas kapal, tidak lupa berpamitan dengan pemuda penjaga pulau Menjangan Kecil. Kami sempat berfoto di atas kapal dengan latar belakang sunset matahari yang berpindar kemerahan.


Pada hari Selasa malam itu, kami kembali bermalam di gubuk milik pak Edi. Aku dan Didik bahkan sempat diajak ‘minum’ oleh nelayan-nelayan yang menjaga keramba Kerapu. Eits, jangan bayangkan nelayan yang aku maksud sebagai orang udik. Mereka malah kebanyakan pendatang yang berasal dari pulau Jawa. Mereka memiliki handphone yang tidak kalah dengan orang Bandung. Ya, sejak tahun 2005 di Karimun Jawa memang telah dibangun BTS telekomunikasi yang dimiliki beberapa provider seperti indosat dan telkomsel.


Para nelayan memang biasa minum-minum di malam hari saat bersantai. Untuk menghangatkan badan, katanya. Kali ini, alcohol yang mereka racik cukup aneh menurutku. Sebotol wiski, dicampur dengan 2 kaleng Greensand yang ditemani dengan kacang menjadi teman kami malam itu. Gelas kecil diedarkan berkeliling bergantian ke setiap orang. Didik minum cukup banyak untuk standar orang yang tidak pernah mabuk, padahal ia tidak pernah minum sebelumnya. Walaupun tidak sampai memabukkan, alhasil Didik harus bangun dengan kepala pening dan berat pada keesokan paginya. Di dalam ruangan rumah Pak Edi pun, malam itu disetel dengan kencang video dangdut yang menampilkan band dangdut popular dari Jepara.


Aku sempat berpikir, ternyata orang di pedalaman pun telah berevolusi. Mereka kini membutuhkan hiburan layaknya para penghuni di kota besar. Mereka telah ikut terseret arus modernisasi dan perkembangan zaman. Mereka menggunakan handphone, sebagai contoh Pak Moko. Mereka tidak lagi berkehidupan alami dan sederhana seperti leluhur mereka sebelumnya. Ya, aku memang tidak dapat menyalahkan mereka. Siapa yang tidak mau hidup senang oleh hiburan.


Tidak lupa, kami pun diajak makan ikan laut bakar serta sotong bakar hasil pancingan pak Edi. Ikan laut memiliki bau yang khas, tidak berbau amis tapi khas. Daging ikannya putih bersih.


Kami pun mengobrol dengan Pak Edi hingga puas. Ternyata keramba Kerapu itu menernakkan ikan Kerapu Bebek dan Kerapu Macan. Walaupun bentuk Kerapu tidak terlihat menarik – bertotol-totol seperti macan –, bahkan tingkah polahnya sama sekali tidak lincah – tergeletak begitu saja di dasar keramba seperti batu kerikil yang tenggelam – Ikan Kerapu Bebek adalah jenis ikan yang berharga mahal. Saat dijual dari keramba ini saja kepada penadah, Kerapu Bebek dijual seharga Rp.350.000 perkilogram, sedangkan Kerapu Macan dijual seharga sekitar Rp.200.000 hingga Rp.300.000 perkilogram. Kerapu Bebek dan Macan ini memang menjadi komoditas ekspor ke Negara lain.


Malam ini, kami tidur hingga terbangun pukul 9 pagi, pada hari Rabu tanggal 31 Desember 2008 itu. Alhasil, rencana kami untuk menghabiskan seharian ini di Pulau Karimun Besar gagal karena kami memang berencana menumpang kapal Pak Edi yang seperti biasa berangkat pukul 6 pagi setiap harinya. Mana bahan makanan kami telah habis pula. Alhasil, seharian kami menahan lapar karena tidak ada bahan makanan yang dapat kami masak.


Hari ini, kami menghabiskan waktu di rumah kediaman Pak Moko yang hanya ditunggui oleh seorang wanita setengah baya yang berperawakan gendut. Pak Moko sedang pergi ke tengah laut menemani para pemancing dari Semarang.


Siang itu, kami memberi makan Hiu-hiu milik Pak Moko. Seember besar ikan-ikan laut yang telah busuk adalah makanan Hiu itu. Hiu itu diberi makan sekali setiap hari. Insting Hiu-Hiu itu kembali ganas saat daging ikan busuk itu kami lemparkan ke kolam. Mereka berebutan melahap ikan-ikan busuk itu. Ada dua kolam di sana, satu kolam berisi Hiu yang telah besar, sedangkan kolam yang satunya berisi Hiu yang masih kecil. Kami sempat merekam keganasan mereka dengan video kamera saku milikku. Pada akhirnya, Hiu-hiu berukuran besar itu telah kekenyangan. Mereka tidak lagi menggubris ikan busuk yang kami lemparkan ke kolam. Pengalaman yang cukup menarik.


Oya, ternyata pasangan Homo yang kami temui saat di Pulau Menjangan Kecil pun menyambangi kediaman Pak Moko. Kami sempat mendengar percakapan sayang-sayangan mereka saat kami berpura-pura tidur di teras rumah Pak Moko.


Setelah menahan lapar hingga sore hari, kami akhirnya berkemas karena akan segera kembali ke Pulau Karimun Besar, menumpang kapal Pak Edi yang sore itu kebetulan harus menyeberang ke pulau Karimun Besar. Setelah berpamitan untuk terakhir kalinya dengan para nelayan penjaga keramba Kerapu, kami pun menyeberang.


Sesampainya di Pulau Karimun Besar pada sore itu, kami segera menyambangi Kantin Melati untuk membalas dendam. Kami makan dengan lahap – aku bahkan menghabiskan Rp.30.000 sekali makan pada malam itu. Di lapangan di depan Kantin, terlihat sekelompok pemuda Karimun yang sedang bermain sepakbola. Mereka terlihat lihai bermain bola, tidak kalah dengan sepakbola antarkampung yang sering diadakan di Jawa.


Kami lalu bertanya-tanya tentang aktivitas malam tahun baru yang ada di Karimun Jawa. Katanya, tidak ada aktivitas apa pun di sini, kecuali hanya acara kecil-kecilan. Kami tidak percaya. Ternyata, memang kenyataannya seperti itu. Tidak ada seremoni tahun baru apapun di sini. Hanya ada kelompok-kelompok pemuda yang asik membakar ikan dan menyalakan kembang api kecil-kecilan. Atau mungkin karena kami turis kere yang tidak bermodal besar?


Malam itu, saat aku dan Yanu berkeliling pulau, kami dipanggil oleh seorang Bapak yang berkulit gosong yang berperawakan atletis. Tidak heran, ternyata ia adalah seorang penyelam. Penyelam maksudnya adalah nelayan yang melakukan penyelaman yang mampu menyelam hingga kedalaman sekitar 50 meter untuk memancing ikan-ikan tertentu yang berharga mahal. Mereka menggunakan senapan (pistol) yang akan menembakkan kail besar tepat ke arah ikan tersebut. Tapi menjadi seorang penyelam memiliki resiko yang besar, karena sangat rawan terjadi cedera dan cacat tubuh karena tekanan air laut yang tinggi.


Ia lalu mengajak kami makan ikan bakar bersama – tanpa nasi. Buset, sekali makan, ia mampu menghabiskan 2 ekor ikan sekaligus. Pasti orang Karimun cerdas-cerdas karena tiap hari makan ikan terus, kataku. Ia tertawa.


Kami bertiga lalu kembali berkeliling pulau Karimun Besar dan berjalan kaki hingga ke pelabuhan di mana kapal Feri ASDP bersandar. Kami membeli tiket kapal Feri di agen tiket seharga Rp.30.000 per orang. Kali ini pun, secara kebetulan, kami berpapasan lagi dengan pasangan Homo Menjangan Kecil di sebuah jalan remang-remang. Nampaknya mereka sedang kembali ke penginapan mereka. Kebetulan yang aneh setelah sekian kali bertemu dengan mereka.


Kami lalu berfoto dengan latar belakang kapal Feri ASDP yang lampunya bersinar eksotis berwarna-warni. Menjelang pergantian tahun, kami melihat bahwa memang tidak ada aktivitas seremoni yang menarik di pulau ini. Yanu sempat berkata bahwa ia tidak begitu menikmati liburan di Karimun Jawa. Katanya, ia lebih baik berada di Bali (seperti yang ia lakukan bersama 15 rekan di jurusannya saat bagpacking ke Bali pada bulan Juli lalu) karena di Bali banyak terdapat tempat hiburan – berbeda dengan Karimun Jawa yang hanya menawarkan wisata bahari. Akhirnya, kami pun memutuskan untuk pergi tidur saja. Kami tidur di bangku di depan Kantin Melati.


Esok paginya, kami sarapan di Kantin. Kami harus buru-buru, karena kapal Feri ASDP akan berangkat pukul 8 pagi. Kami sempat melihat-lihat souvenir di Karimun Jawa. Aku berniat membeli kaos Karimun Jawa, tapi ternyata tidak ada yang menjual kaos. Akhirnya, kami pun segera bergegas berjalan kaki ke pelabuhan. Aku sempat konflik dengan Yanu, karena ia menyeretku untuk berjalan dengan cepat, padahal kakiku sedang penuh dengan luka gores yang semakin menjadi akibat terkena terumbu karang. Kata Didik, luka terbuka yang terkena terumbu karang memang mengakibatkan infeksi.


Untunglah, kami dapat naik ke atas kapal Feri tepat sebelum kapal itu diberangkatkan. Tapi aku ngambek dengan Yanu – sifat kekanak-kanakanku timbul lagi. Aku hanya duduk dan tidur di ruangan penumpang, sementara Yanu dan Didik berada di dek kapal di atas.


Kali ini, secara ‘kebetulan’ ternyata kami satu kapal dengan pasangan bule Homo – aku kembali bertemu dengan pasangan Homo itu di ruangan penumpang ini, kali ini lengkap dengan pasangan pria Bule-wanita pribumi. Di kapal ini, kedua pasangan itu kembali bermesraan. Pasangan homo bahkan tidak segan-segan berpelukan dan bermesraan, walaupun seisi kapal memandang mereka dengan heran.


Kapal pun tiba sekitar pukul setengah 3 sore di pelabuhan Kartini di Jepara. Plaza di dekat pelabuhan Kartini tengah sangat ramai dipenuhi dengan orang-orang yang asik merayakan tahun baru dengan berdangdut ria. Sekitaran panggung penuh berisi warga Jepara yang asik bergoyang. Kami hanya memandang sambil lalu, tidak tertarik bergabung dengan mereka.


Di atas kapal tadi, kami berkenalan dengan serombongan pemuda dari Jakarta yang terdiri dari 5 orang (4 orang cowok dan seorang cewek). Uniknya, mereka ternyata tidak saling kenal sebelumnya. Perkenalan mereka berawal dari aplikasi social networking Facebook. Salah satu dari mereka menulis status di facebook bahwa mereka ingin pergi ke Karimun Jawa, dan mereka sedang mencari teman seperjalanan. Dari sanalah, mereka akhirnya bersepakat bertemu di terminal Tanah Abang dan pergi bersama ke Karimun Jawa.


Akhirnya, kami bersama-sama pergi naek becak ke pusat kota Jepara. Kami sempat makan bersama, sebelum akhirnya kami berpisah di terminal. Ya, begitulah salah satu keasikan saat traveling. Kita dapat berkenalan dengan banyak orang – terutama sesama traveler. Mungkin rasa kebersamaan dan solidaritas itu timbul karena kita merasa sama-sama sedang jauh dari rumah dan jauh dari orang-orang yang kita kenal.


Dari cerita mereka, kami mengetahui bahwa kami dapat menyewa sepeda motor di Pulau Karimun Besar dengan tarif Rp.50.000 selama satu hari penuh. Ada pula sepeda kayuh yang juga dapat disewa. Mereka sempat berjalan-jalan keliling pulau Karimun Besar menggunakan sepeda motor sewaan mereka. Bahkan hingga melihat tugu Batu Lawang yang ternyata sama sekali tidak menarik.


Sesampai di terminal, Didik harus singgah di Semarang sehingga ia berpisah dengan kami untuk naek bus antarkota jurusan Jepara-Semarang yang kami naiki beberapa hari yang lalu. Sedangkan aku dan Yanu kembali ke Bandung, menaiki sebuah agency bus yang bermarkas di daerah Jln. Pajajaran, Bandung.


Kami berangkat sekitar pukul 6 sore dari terminal Jepara. Sepanjang perjalanan, banyak kami temui iklan produk rokok yang bermerek ‘Sukun’. Ternyata merk rokok ini cukup popular di daerah Jawa Tengah. Setelah tertidur di bus, kami lalu tiba di pool bus di Jln. Pajajajaran Bandung sekitar pukul setengah 6 pagi. Menggunakan angkot jurusan Cisitu, kami berdua singgah di SEL sebelum pulang ke rumah masing-masing.


Biaya yang kuhabiskan bila diakumulasikan kira-kira mencapai Rp.500 ribuan. Dari estimasi awal hanya sekitar Rp.300 ribu.


Yah, liburan kali ini cukup berkesan bagiku. Terutama karena inilah kali pertama aku menghabiskan berhari-hari di daerah laut. Dan banyak pelajaran dan hal-hal baru yang aku petik. Sampai jumpa lagi Karimun Jawa!


2 komentar:

Kasih komentar kamu di sini. Tapi jangan asal komen yaa ;-)